Upacara Tiwah atau Tiwah Lale atau Magah Salumpuk liau Uluh Matei
ialah upacara sakral terbesar untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia
yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju yaitu Lewu Tatau
Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras
Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang letaknya
di langit ke tujuh.
Perantara dalam upacara ini ialah :
Rawing Tempun Telun, Raja Dohong Bulau atau Mantir Mama Luhing Bungai
Raja Malawung Bulau, yang bertempat tinggal di langit ketiga. Dalam
pelaksanaan tugas dan kewajibannya Rawing Tempun Telun dibantu oleh
Telun dan Hamparung, dengan melalui bermacam-macam rintangan.
Kendaraan yang digunakan oleh Rawing Tempun Telun mengantarkan liau
ke Lewu Liau ialah Banama Balai Rabia, Bulau Pulau Tanduh Nyahu Sali
Rabia, Manuk Ambun. Perjalanan jauh menuju Lewu Liau meli\ewati empat
puluh lapisan embun , melalui sungai-sungai, gunung-gunung, tasik, laut,
telaga, jembatan-jembatan yang mungkin saja apabila pelaksanaan tidak
sempurna, Salumpuk liau yang diantar menuju alam baka tersesat.
Pelaksana di pantai danum kalunen dilakukan oleh Basir dan Balian. Untuk
lebih memahami uraian selanjutnya, beberapa istilah perlu diketahui :
Pengertian yang Perlu Dipahami
1. Jiwa atau Roh.
a. Jiwa/roh manusia yang masih hidup di dunia disebut Hambaruan atau Semenget.
b. Jiwa/roh orang yang telah meninggal dunia disebut Salumpuk Liau.
Selumpuk Liau harus dikembalikan kepada Hatalla. Prinsip keyakinan
Kaharingan menyatakan bahwa tanpa diantar ke lewu liau dengan sarana
upacara Tiwah, tak akan mungkin arwah mencapai lewu liau. Bila dana
belum mencukupi, ada kematian, pelaksanaan upacara Tiwah boleh ditunda
menunggu terkumpulnya dana dan bertambahnya jumlah keluarga yang akan
bergabung untuk bersama melaksanakan upacara sakral tersebut.
Upacara besar yang berlangsung antara tujuh sampai empat puluh hari
tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit, namun karena adanya
sifat gotong royong yang telah mendarah daging, maka segala kesulitan
dapat diatasi. Tumbuh suburnya prinsip saling mendukung dalam
kebersamaan menumbuhkan sifat kepedulian yang sangat mendalam sehingga
kewajiban melaksanakan upacara Tiwah bagi keluarga-keluarga yang
ditinggalkan didukung dan dilaksanakan bersama oleh mereka yang merasa
senasib dan sepenanggungan.
c. Salumpuk Bereng yaitu raga manusia yang telah terpisah dari jiwa
karena terjadinya proses kematian. Setelah mengalami kematian, salumpuk
bereng diletakkan dalam peti mati, sambil menunggu pelaksanaan upacara
Tiwah, salumpuk bereng dikuburkan terlebih dahulu.
d. Pengertian dosa
Tiga hukuman dosa yang harus ditanggung oleh Salumpuk liau akibat perbuatan semasa hidupnya :
1). Merampas, mengambil isteri orang, mencuri dan merampok. Hukuman
yang harus dijalani oleh Salumpuk liau untuk perbuatan ini ialah
menanggung siksaan di Tasik Layang Jalajan. Untuk selamanya mereka akan
menjadi penghuni tempat tersebut. Di tempat itu pula Salumpuk liau harus
mengangkat barang-barang yang telah dicuri atau dirampok ketika hidup
di dunia. Barang-barang curian tersebut akan selalu dijunjung sampai
pemilik barang yang barangnya dicuri meninggal dunia.
2). Ketidakadilan dalam memutuskan perkara bagi mereka yang
berwewenang memutuskannya, yaitu para kepala kampung, kepala suku dan
kepala adat. Mereka juga akan dihukum di Tasik Layang Jalajan untuk
selamanya dalam rupa setengah kijang dan setengah manusia.
3). Tindakan tidak adil atau menerima suap atau uang “Sorok“ bagi
mereka yang bertugas mengadili perkara di Pantai Danum Kalunen (dunia).
Mereka akan dimasukkan ke dalam goa-goa kecil yang terkunci untuk
selamanya.
2. Jenis dan Nama Peti Mati :
a. Runi yaitu jenis peti mati yang terbuat dari batang kayu bulat,
bagian tengahnya dibuat berongga/diberi lubang dan ukuran lubang tengah
disesuaikan dengan ukuran salumpuk bereng yang akan diletakkan di situ.
b. Raung yaitu peti mati terbuat dari kayu bulat, seperti peti mati pada umumnya, ada tutup peti pada bagian atas.
c. Kakurung, yaitu jenis peti mati pada umumnya terbuat dari papan persegi empat panjang, dengan tutup dibagian atas.
d. Kakiring, peti mati berbentuk dulang tempat makanan babi, kakinya berbentuk tiang panjang ukuran satu depa.
e. Sandung, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan empat tiang.
f. Sandung Raung, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan enam tiang.
g. Sandung Tulang, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan satu tiang.
h. Sandung Rahung, umumnya digunakan oleh mereka yang mati terbunuh.
Sandung Rahung juga disebut Balai Telun karena Rawing Tempun Telun akan
memberikan balasan kepada si pembunuh.
i. Tambak, di kubur di dalam tanah bentuknya persegi empat.
j. Pambak, juga dikubur dalam tanah, namun bentuknya sedikit berbeda dengan Tambak.
k. Jiwab, bentuknya menyerupai sandung namun tanpa tiang.
l. Sandung Dulang, tempat menyimpan abu jenazah.
m. Sandung Naung, tempat menyimpan tulang belulang.
n. Ambatan, patung-patung yang terbuat dari kayu dan diletakan disekitar sandung.
o. Sapundu, patung terbuat dari kayu berukuran besar dan diletakan di depan rumah.
p. Sandaran Sangkalan Tabalien yaitu patung besar jalan ke langit.
q. Pantar Tabalien yaitu Pantar kayu jalan ke lewu liau.
r. Sandung Balanga, yaitu belanga tempat menyimpan abu jenazah.
Upacara Tiwah adalah upacara sakral terbesar yang beresiko tinggi,
maka pelaksanaan dan persiapan segala sesuatunya harus dilakukan dengan
benar-benar cermat, karena kalau terjadi kekeliruan atau pelaksanaan
tidak sempurna, para ahli waris yang ditinggalkan akan menanggung beban
berat, diantaranya :
1). Pali akan pambelum itah harian .
2). Tau pamparesen itah limbah gawie toh .
3). Indu kakicas, pambelum itah harian andau .
Banyak persyaratan yang harus dipenuhi, diantaranya harus tersedia
hewan korban seperti kerbau, sapi, babi, ayam, bahkan di masa yang telah
lalu persyaratan yang tersedia masih dilengkapi lagi dengan kepala
manusia. Makna persembahan kepala manusia ialah ungkapan rasa hormat dan
bakti para ahli waris kepada salumpuk liau yang siap diantar ke Lewu
Liau. Mereka yakin bahwa kelak di kemudian hari apabila salumpuk liau
telah mencapai tempat yang dituju yaitu Lewu Liau, maka sejumlah kepala
yang dipersembahkan, sejumlah itu pula pelayan yang dimilikinya kelak.
Mereka yang terpilih dan kepala mereka yang telah dipersembahkan dalam
upacara sakral tersebut, secara otomatis Salumpuk liau-nya akan masuk
Lewu Liau tanpa harus di-tiwah-kan walau keberadaan mereka di Lewu Liau
hanya sebagai pelayan. Namun di masa kini hal tersebut telah tidak
berlaku lagi. Kepala manusia digantikan oleh kepala kerbau atau kepala
sapi.
Pelaksana upacara sakral
1. Balian
Balian adalah seorang perempuan yang bertugas sebagai mediator dan
komunikator antara manusia dengan makhluk lain yang keberadaannya tidak
terlihat oleh kasat mata jasmani manusia. Balian menyampaikan
permohonan-permohonan manusia kepada Ranying Hatalla dengan perantaraan
roh baik yang telah menerima tugas khusus dari Ranying Hatalla untuk
mengayomi manusia.
Tidak setiap orang sekalipun berusaha keras, mampu melakukan tugas dan
kewajiban sebagai Balian. Biasanya hanya orang-orang terpilih saja.
Adapun tanda-tanda yang mungkin dapat dijadikan pedoman kemungkinannya
seorang anak kelak dikemudian hari bila telah dewasa menjadi seorang
Balian, antara lain apabila seorang anak perempuan lahir bungkus yaitu
pada saat dilahirkan plasenta anak tidak pecah karena proses kelahiran,
namun lahir utuh terbungkus plasentanya, juga sikap dan tingkah laku
anak sejak kecil berbeda dengan anak-anak pada umumnya, ia pun banyak
mengalami peristiwa-peristiwa tidak masuk akal bagi lingkungannya.
2. Basir.
Basir seperti halnya Balian adalah mediator dan komunikator manusia
dengan makhluk lain yang keberadaannya tidak terlihat oleh mata jasmani.
Di masa silam, Basir selalu seorang laki-laki yang bersifat dan
bertingkah laku seperti perempuan, namun untuk masa sekarang hal
tersebut sudah tidak berlaku lagi. Dalam dunia spiritual Basir memiliki
kemampuan lebih, dalam hal pengobatan, khususnya penyembuhan penyakit
yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat mistik.
3. Telun atau Pisur
Telun atau Pisur adalah pangkat atau jabatan dalam agama Kaharingan.
Telun bertugas hanya akan hal-hal yang berkaitan dengan upacara-upacara
adat keagamaan. Telun tidak termasuk dalam jabatan atau anggota
Kerapatan Adat. Dengan demikian Telun tidak punya suara dalam Putusan
Kerapatan Adat.
4. Mahanteran
Mahanteran atau Manjangen adalah mediator dan komunikator manusia dengan
Rawing Tempun Telun. Biasanya seorang Mahanteran atau Manjangen, selalu
duduk di atas gong, sambil memegang duhung dan batanggui sampule dare
Upacara Tiwah
Proses Pelaksanaan Upacara Tiwah
Diawali dengan musyawarah para Bakas Lewu , yang hasilnya diumumkan
bahwa dalam waktu dekat akan diadakan Upacara Tiwah , sehingga siapapun
yang berniat meniwahkan keluarganya mengetahui dan dapat turut serta.
Setelah diumumkan, siapapun yang ingin bergabung terlebih dahulu harus
menyatakan niatnya dengan menyebutkan jumlah salumpuk liau yang akan
diikutsertakan dalam upacara Tiwah. Setelah pendataan jumlah salumpuk
liau yang akan bergabung untuk diantarkan ke Lewu Liau, barulah
ditentukan dengan pemilihan siapa dari para Bakas Lewu yang pantas
menjadi “Bakas Tiwah” .
Setelah pemilihan Bakas Tiwah, barulah pembicaraan lebih detail
dilaksanakan. Detail pembicaraan antara lain menyangkut jumlah
kesanggupan yang akan diberikan oleh pihak-pihak keluarga yang telah
menyatakan diri akan bergabung. Kesanggupan itu menyangkut masalah
konsumsi, hewan-hewan yang akan dipersembahkan sebagai korban juga
bersama memutuskan siapa pelaksana Upacara Tiwah itu nantinya, apakah
Mahanteran atau Balian.
Disamping ditawarkan kebutuhan-kebutuhan upacara Tiwah sesuai dengan
kemampuan masing-masing keluarga salumpuk liau, masih ada beberapa
persyaratan yang wajib harus disediakan oleh pihak keluarga. Salah
satunya, minimal wajib menyediakan seekor ayam untuk setiap Salumpuk
liau. Upacara diadakan di rumah Bakas Tiwah, dengan waktu pelaksanaan
ditentukan musyawarah. Pada hari yang ditentukan, semua keluarga
berkumpul di rumah Bakas Tiwah.
Hari pertama :
Upacara diawali dengan mendirikan sebuah bangunan berbentuk rumah yang
dinamakan Balai Pangun Jandau yang artinya mendirikan balai hanya dalam
satu hari. Persyaratan yang harus dipenuhi ialah seekor babi yang harus
dibunuh sendiri oleh Bakas Tiwah. Setelah Balai Pangun Jandau selesai
dibangun, Bakas Tiwah melakukan Pasar Sababulu yaitu memberikan tanda
buat barang-barang yang akan digunakan untuk upacara Tiwah nantinya dan
menyediakan Dawen Silar yang nantinya akan digunakan untuk Palas Bukit.
Hari kedua :
Hari kedua mendirikan Sangkaraya Sandung Rahung yang diletakkan di depan
rumah Bakas Tiwah, gunanya untuk menyimpan tulang belulang
masing-masing salumpuk liau. Setelah itu seekor babi dibunuh diambil
darahnya untuk memalas Sangkaraya Sandung Rahung. Di sekitar Sangkaraya
Sandung Rahung dipasang bambu kuning dan lamiang atau Tamiang Palingkau,
juga kain-kain warna kuning dan bendera Panjang Ngambang Kabanteran
Bulan Rarusir Ambu Ngekah Lampung Matanandau .
Di hari kedua ini alat-alat musik bunyi-bunyian seperti gandang,
garantung, kangkanung, toroi, katambung dan tarai mulai dibunyikan.
Namun terlebih dahulu semua peralatan musik, juga semua perkakas yang
akan digunakan dalam upacara Tiwah dipalas atau disaki dengan darah
binatang yang telah ditentukan.
Pada hari itu pula seorang Penawur mulai melaksanakan tugasnya menawur
untuk menghubungi salumpuk liau yang akan diikutsertakan dalam upacara
Tiwah tersebut agar mengetahui dan memohon izin kepada para Sangiang,
Jata, Naga Galang Petak, Nyaring, Pampahilep. Juga pemberitahuan
diberikan kepada Sangumang, Sangkanak, Jin, Kambe Hai, Bintang, Bulan,
Patendu, Jakarang Matanandau.
Mereka yang hadir dalam acara tersebut berbusana Penyang Gawing
Haramaung, Baju Kalambi Barun Rakawan Salingkat Sangkurat, Benang
Ranggam Malahui, Ewah Bumbun dengan memakai ikat kepala atau Lawung
Sansulai Dare Nucung Dandang Tingang, serta di pinggang diikat dohong
Sanaman Mantikei. Pada leher dikalungkan Lamiang Saling Santagi Raja.
Ketika bendera dinaikkan di atas sangkaraya, mereka yang hadir baik
laki-laki atau perempuan, tua, muda, berdiri mengelilingi sangkaraya,
dilanjutkan Menganjan untuk menyambut dan menghormati para Sangiang yang
telah hadir bersama mereka untuk mengantarkan Salumpuk liau menuju Lewu
Liau.
Hari ketiga:
Pada hari ketiga, babi, sapi atau kerbau diikat di tiang Sangkaraya.
Kemudian tarian Manganjan diawali oleh tiga orang yang berputar
mengelilingi Sangkaraya. Semua bunyi-bunyian saat itu ditabuh, pekik
sorak kegembiraan terdengar disana-sini, suasana meriah riang gembira.
Pada hari itu beras merah dan beras kuning ditaburkan ke arah atas.
Setelah Menganjan selesai, mulailah acara membunuh binatang korban.
Darah binatang yang dibunuh dikumpulkan pada sebuah sangku dan akan
digunakan untuk membasuh segala kotoran. Diyakini bahwa darah binatang
yang dikorbankan tersebut adalah darah Rawing Tempun Telun yang telah
disucikan oleh Hatalla.
Kemudian darah tersebut digunakan untuk menyaki dan memalas semua
orang yang berada dalam kampung tersebut, juga memalas batu-batuan,
pangantuhu, minyak sangkalemu, minyak tatamba, ramu, rakas, mandau,
penyang, karuhei, tatau serta semua peralatan yang digunakan dalam
upacara Tiwah itu. Di samping untuk memalas, darah binatang korban tadi
juga dicampur beras, kemudian dilemparkan ke atas, serta segala penjuru,
juga ke arah mereka yang hadir dalam upacara. Dengan melempar beras
yang telah dicampur darah Rawing Tempun Telun tersebut diharapkan semua
jadi baik, jauh dari segala penyakit dan gangguan, panjang umur dan
banyak rezeki.
Hari ke empat
Pada hari empat ini diyakini bahwa Salumpuk liau pun turut hadir serta
aktif berperan serta dalam perayaan Tiwah tersebut namun kehadirannya
tidak terlihat oleh mata jasmani. Salumpuk liau jadi semakin bahagia dan
gembira ketika para keluarga, baik ayah, ibu, anak, paman, bibi, kakek
neneknya hadir berkumpul di situ, dan menemui mereka yang hadir dalam
perayaan tersebut, mereka menggosokkan air kunyit ke telapak tangan dan
kaki mereka yang hadir, menuangkan minyak kelapa di kepala para tamu,
sambil menuangkan baram dan anding serta menawarkan ketan, nasi, kaki
ayam, serta lemak babi yang diakhiri dengan menyuguhkan rokok dan sipa .
Setelah itu di dekat Sangkaraya didirikan tiang panjang bernama
Tihang Mandera yang maknanya pemberitahuan kepada siapapun yang datang
ke kampung tersebut bahwa dalam kampung tersebut sedang berlangsung
pesta Tiwah, berarti kampung tersebut tertutup bagi lalu lintas umum.
Mereka yang belum memenuhi persyaratan yang harus dilakukan dalam pesta
Tiwah, antara lain belum disaki atau dipalas dilarang menginjakkan kaki
di kampung itu. Tidak mentaati aturan, resiko tanggung sendiri.
kemungkinan ditangkap, pada hari itu pula dibunuh lalu ditaruh di
Sangkaraya, dipotong kepalanya sebagai pelengkap upacara Tiwah.
Kemudian seorang penawur duduk di atas gong, sambil manangking Dohong
Nucung Dandang Tingang. Pertama-tama penawur berkomunikasi dengan semua
orang yang telah meninggal dunia untuk memberitahukan bahwa mereka yang
nama-namanya disebut akan diantarkan ke Lewu Liau. Kemudian
berkomunikasi dengan para Sangiang, Jata, untuk memohon perlindungan
bagi semua sanak keluarga salumpuk liau yang ditiwahkan serta para
hadirin yang hadir dalam upacara tersebut agar dijauhkan dari sakit
penyakit serta jauh dari kesusahan selama terlaksananya upacara Tiwah
tersebut.
Komunikasi selanjutnya ditujukan kepada setan-setan, kambe dan
jin-jin agar tidak mengganggu jalannya upacara, jangan sampai terjadi
kematian mendadak, orang terluka, sakit, jangan terjadi tulah malai dan
jangan sampai terjadi perkelahian. Setelah itu Antang penghuni Tumbang
Lawang Langit dipanggil untuk mengamati, serta menjaga kemungkinan
datangnya musuh yang berniat mengganggu proses pelaksanaan upacara
sakral tersebut. Setelah itu burung elang datang dan terbang
melayang-layang di diatas tempat upacara Tiwah berlangsung untuk
mengawasi suasana serta menjaga keamanan kampung itu.
Kemudian pada bangunan Balai Pangun Jandau diletakkan sebuah gong
yang berisi beras kuning, rokok, sirih, maksudnya sebagai parapah bagi
tamu-tamu dan para ahli waris Salumpuk liau yang sedang di-tiwah-kan
juga diikat Sulau Garanuhing.
Selanjutnya penawur berkomunikasi kepada Gunjuh Apang Pangcono yaitu
“Raja Pali“ Sang Penguasa segala bentuk larangan yang harus ditaati
penduduk bumi. Pemberitahuan dan permohonan izin pelaksanaan Tiwah yang
dilaksanakan selama tujuh atau empat puluh hari dimaksud untuk
menghindari kesalahpahaman Raja Pali akan peristiwa sakral tersebut.
Proses selanjutnya didirikan Hampatung Halu, yang diikat sebutir
manik hitam dengan tengang beliat yang ditanam pada tanah perbatasan
kampung dimana upacara Tiwah sedang dilangsungkan dengan perkampungan
lain yang tidak sedang mengadakan upacara Tiwah. Sejak hari itu hukum
pali mulai dilaksanakan oleh para ahli waris Salumpuk liau. Batas waktu
pelaksanaan hukum pali telah ditentukan yang artinya bukan selamanya.
Adapun larangan-larangan itu adalah sebagai berikut :
1. Pali makan rusa – dilarang makan rusa.
2. Pali makan kijang.
3. Pali makan kancil/pelanduk
4. Pali makan kelep dan kura-kura.
5. Pali makan kera.
6. Pali makan Beruk
7. Pali makan Buhis
8. Pali makan Kalawet
9. Pali makan Burung Tingang /Burung Enggang.
10. Pali makan Burung Tanjaku.
11. Pali makan Ahom .
12. Pali makan Mahar .
13. Pali makan Ular.
14. Pali makan Tahatung.
15. Pali makan Angkes.
16. Pali makan buah rimbang.
17. Pali makan daun keladi.
18. Pali makan ujau.
19. Pali makan dawen bajai- daun bajai.
Selain larangan menyantap beberapa jenis binatang dan
tumbuh-tumbuhan, juga ada pali berkelahi. Bila terjadi perkelahian maka
mereka yang berkelahi wajib membayar denda kepada Bakas Tiwah Jipen ije
dan kewajiban potong babi, darah babi digunakan untuk menyaki mereka
yang berkelahi.
Hari keempat :
Kanjan diawali oleh empat orang.
Hari kelima :
Hari ini Pantar Tabalien didirikan. Pantar Tabalien yaitu jalan yang
akan dilalui salumpuk liau menuju Lewu Liau, berbentuk tiang yang
terbuat dari kayu ulin atau kayu besi yang menjulang tinggi ke atas,
dengan tinggi mencapai 50 sampai 60 meter dari tanah.
Pada hari ini pula hewan-hewan yang dikorbankan yaitu kerbau atau
sapi diikat di sapundu dan mereka yang hadir mengelilingi sapundu
tersebut, menganjan tanpa henti baik siang maupun malam. Saat itu pula
Sandung dan Pambak tempat menyimpan salumpuk bereng mulai dibuat, yang
setelah siap terlebih dulu dipalas dengan darah kerbau, sapi atau babi.
Kemudian selama tujuh hari Sandung tersebut dipali yaitu selama tujuh
hari mereka yang lalu lalang di kampung tersebut terkena pali dan wajib
menyerahkan sesuatu miliknya berupa benda apa saja untuk menetralisir
pali yang menimpanya. Kemudian Talin Pali diputuskan.
Sebuah Tajau atau belanga dengan ukuran besar dan mahal harganya
diletakkan disamping patung besar yang terbuat dari kayu, namanya
Sandaran Sangkalan Tabalien, Ingarungkung dengan Lalang Pehuk Barahan.
Keyakinan suku Dayak belanga berasal dari langit ketujuh oleh karena itu
siapapun yang ingin diantar ke Lewu Liau yang terletak di langit
ketujuh wajib memenuhi persyaratan sebuah belanga, dan tentu saja juga
menyediakan binatang-binatang korban karena sejak hari ke lima dan
seterusnya akan banyak masyarakat berdatangan, berkumpul, bergabung
menganjan mengelilingi hewan-hewan yang akan dikorbankan, baik siang
maupun malam untuk menghormati Salumpuk liau yang segera akan dihantar
ke tujuan. Keperluan masak memasak lebih dilengkapi lagi, bambu dan daun
itik mulai dikumpulkan karena makanan akan dimasak di dalam bambu,
kemudian dibungkus dengan daun itik.
Puncak Upacara
Terlebih dahulu oleh Bakas Tiwah, Basir dikenakan pakaian khusus yang
memang telah dipersiapkan untuk upacara. Penawur dan masyarakat yang
hadir untuk menyaksikan upacara telah berkumpul di Balai. Basir dan
Balian didudukkan diatas Katil Garing dan siap memegang sambang/
ketambung . Posisi duduk Basir di tengah dan diapit oleh dua orang,
serta empat orang duduk di belakangnya. Penawur mengawali Tatulak Balian
yang artinya buang sial, maksudnya membuang segala bencana yang mungkin
terjadi selama prosesi sakral berlangsung.
Salah satu persyaratan yang diminta oleh Hatalla dengan perantaraan
Rawing Tempun Telun kepada mereka yang melaksanakan upacara Tiwah ialah
sifat ksatria, memiliki keberanian luar biasa, gagah perkasa pantang
menyerah. Sikap ini diekspresikan dengan datangnya sebuah Lanting Rakit
dari sebelah hulu. Kedatangan rombongan tamu saat upacara Tiwah dengan
membawa binatang-binatang korban seperti kerbau, sapi, babi, ayam, tidak
begitu saja diterima. Mereka yang datang, terlebih dahulu di uji
keberaniannya.
Begitu rombongan tamu turun dari lanting rakit yang ditumpangi,
mereka disambut dengan laluhan, taharang dan manetek pantan. Batang kayu
bulat yang panjangnya dua meter, diikat melintang pada tiang setinggi
pinggang dan diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah. Kepada tamu yang
datang, Bakas Tiwah bertanya asal usul rombongan yang baru saja datang,
tujuan kedatangan juga nama dan jenis binatang yang dibawa.
Kemudian rombongan tamu akan menjawab pertanyaan tersebut bahkan
tidak lupa menceritakan tindak kepahlawanan yang pernah mereka lakukan.
Untuk membuktikan kebenaran perkataan mereka, Bakas Tiwah meminta kepada
para tamunya untuk memotong kayu penghalang yang ada di depan mata
mereka. Bila mampu memotong hingga patah berarti benar mereka adalah
para ksatria yang memiliki keberanian luar biasa, gagah perkasa pantang
menyerah, baru kemudian mereka dipersilahkan bergabung.
Hari ketujuh yang disebut hari manggetu rutas pakasindus yaitu hari
melepaskan segala kesialan kawe rutas matei, pada hari ketujuh inilah
salumpuk liau mengawali perjalanan menuju Lewu Liau diawali dengan
penikaman dengan menggunakan tombak atau lunju pada binatang korban yang
telah dipersiapkan, dan diikat di sapundu tempat dimana masyarakat yang
hadir telah menganjan siang malam tanpa henti.
Tidak setiap orang diperkenankan menikam binatang korban, semua ada aturannya.
Cara pertama :
1). Bakas Tiwah menikam lambung kanan, dinamakan kempas bunuhan. Ia
berhak mendapatkan paha kanan dari binatang yang ditombaknya.
2). Seorang perempuan ahli waris salumpuk liau, bekas tikamannya disebut
pekas bunuhan. Ia berhak mendapatkan paha kiri dari binatang yang telah
ditombaknya
3). Salah seorang wakil masyarakat yang hadir dalam upacara. Bekas
tikamannya disebut timbalan bunuhan. Ia berhak mendapatkan dada dan
jantung binatang korban yang telah ditombaknya.
Cara kedua :
1). Tikaman pertama dilaksanakan oleh Bakas Tiwah, kemudian ia berhak menerima paha kanan binatang yang telah ditombaknya.
2). Tikaman kedua oleh kepala rombongan yang datang dengan lanting rakit
dan telah berhasil memotong pantan, ia berhak mendapat paha kiri
binatang yang ditombaknya.
3). Tikaman ketiga oleh Bakas Lewu, kemudian ia berhak mendapatkan dada dan jantung binatang yang ditombaknya.
Disusul dengan Kanjan Hatue yaitu tarian kanjan yang hanya dilakukan
oleh laki-laki. Selesai kanjan hatue dilanjutkan acara masak memasak
mempersiapkan makanan untuk Sangiang, Nyaring, Pampahilep, Sangkanak,
kambe, burung bahotok, burung papau, burung Antang.
Ada ketentuan cara memberi makan kepada mereka yang tidak terlihat
mata jasmani yaitu dilempar ke arah bawah ditujukan kepada salumpuk liau
yang sedang diantar ke Lewu Liau, lemparan ke arah kanan ditujukan
kepada Raja Untung dan para Sangiang. Lemparan ke arah belakang
ditujukan kepada Raja Sial. Kemudian diulangi lagi, ke arah belakang
ditujukan kepada Sangumang dan Sangkanak, ke arah atas ditujukan kepada
Bulan, Bintang, Matahari, Patendu, Kilat dan Nyahu. Selesai acara
pemberian makan kembali masyarakat yang hadir berkumpul.
Tibalah saatnya salumpuk bereng digali/diambil dari tempat
penyimpanan sementara. Tulang belulang yang ditemukan dikumpulkan, dan
pada hari itu pula dimasukkan dalam tambak atau pambak atau sandung .
Kemudian pantar didirikan dan dilanjutkan hajamuk atau hapuar. Upacara
dianggap selesai apabila seluruh prosesi upacara telah dilaksanakan
lengkap, dengan demikian keluarga yang ditinggalkan merasa lega karena
telah berhasil melaksanakan tugas dan kewajibanya kepada orang-orang
yang dicintai. Salumpuk liau telah sampai ke tempat yang dituju yaitu
Lewu Liau.
Setelah hari ketujuh, Basir dan Balian diberi kesempatan beristirahat
namun hanya sehari saja karena setelah itu acara akan dilanjutkan lagi
selama tiga hari berturut-turut. Maksud acara lanjutan yang juga
dilengkapi dengan potong babi, minum tuak/baram adalah ungkapan rasa
syukur dan terima kasih oleh ahli waris salumpuk liau kepada para tamu
yang telah hadir bersama mereka. Terima Kasih dan selamat jalan, itulah
ungkapan yang ingin mereka sampaikan. Kepada Rawing Tempun Telun tidak
lupa mereka selalu mohon perlindungan. Pada hari yang sama diadakan juga
acara Balian Balaku Untung yaitu dengan perantaraan Rawing Tempun Telun
mohon rezeki kepada Hatalla.
Sebagai ungkapan terima kasih kepada Basir, Balian, Mahanteran dan
Penawur yang telah terlibat aktif sebagi perantara dalam semua prosesi
upacara demi mengantarkan salumpuk liau ke lewu liau, tanda mata
diberikan kepada mereka, bahkan ketika mereka yang melaksanakan upacara
akan pulang ke kampung dan rumah mereka masing-masing, masyarakat yang
telah turut hadir dalam upacara Tiwah berbondong-bondong mengantarkan
mereka sampai ketempat yang dituju.
Balian Balaku Untung
Merupakan salah satu upacara adat yang bertujuan meminta umur panjang,
banyak rezeki serta mendapat berkat dari Ranying Hatalla. Permohonan
kepada Hatalla tersebut mereka lakukan dengan perantaraan Rawing Tempun
Telun yang dalam upacara Balian Balaku Untung disebut Mantir Mama Luhing
Bungai.
Dalam upacara ini persyaratan yang lazim disediakan ialah bawui buku
baputi atau babi kerdil yang berwarna putih. Namun boleh juga kerbau
atau sapi. Setelah segala macam persyaratan dan sesajen disiapkan,
upacara segera dimulai. Diawali dengan seorang penawur, yang dengan
sarana beras, menabur-naburkan beras ke segala arah. Dengan perantaraan
seorang penawur, mereka memohon kepada roh beras yang ditawurkannya
untuk menyampaikan kepada Mantir Mama Luhing Bungai agar bersedia turun
ke bumi untuk menyampaikan persembahan mereka kepada Penguasa Alam.
Tidak lupa dengan perantaraan penawur pula mereka memohon izin kepada
salumpuk liau atau jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dunia bahwa di
bumi sedang diadakan upacara Balian Balaku Untung. Juga disebutkan
alasan upacara tersebut mereka adakan. Adapun alasannya karena sebagai
manusia yang masih harus melanjutkan hidupnya di Pantai Danum Kalunen,
mereka masih membutuhkan rezeki dan umur panjang.
Setelah roh beras yang ditawurkan naik menuju ke tempat Mantir Mama
Luhing Bungai di Batang Danum Jalayan di langit ketiga yaitu di negeri
Batu Nindan Tarung, pesan dan tujuan dilaksanakannya upacara adat
tersebut disampaikan. Setelah dipahami maksud dan tujuannya, kemudian
beberapa Sangiang mengambil alih tugas tersebut. Sangiang-sangiang
itulah yang nantinya menjadi perantara manusia menuju Tahta Ranying
Hatalla.
Para Sangiang yang sering kali terlibat dalam melaksanakan tugas tersebut, antara lain:
1. Mantir Mama Luhing Bungai.
2. Raja Tabela Basandar Ranjan Kanarohan Rinyit Kangantil Garantung.
3. Tarung Lingu, Kanyumping Linga, Asun Tandang Panangkuluk Enteng.
4. Bulan Pangajin Sambang Batu Bangkalan Banama.
5. Balu Indu Iring Penyang.
6. Haramaung Lewu Danum Jalayan.
7. Pambujang Linga.
8. Pambujang Hewang.
Sangiang-Sangiang yang bersedia menjadi perantara tersebut akan
langsung turun ke bumi dan memasuki rumah tempat upacara dilaksanakan.
Mereka tidak lama berada di rumah tersebut karena harus segera
mengantarkan korban persembahan serta permohonan manusia ke hadirat
Penguasa Alam. Mereka naik ke atas menuju langit ketujuh dengan melalui
empat puluh lapisan embun.
Setelah melewati empat puluh lapisan embun, barulah mereka mencapai
langit pertama, lalu langit kedua dan seterusnya. Setiap langit ada
penjaga pintu gerbang, dan setiap penjaga gerbang berhak pula menerima
sesajen yang khusus telah disiapkan bagi mereka. Apabila sesajen
diterima dengan baik, lalu mereka menukar sesajen tersebut dengan Bulau
Untung Panjang . Lalu mengutus salah seorang dari penjaga pintu gerbang
setiap lapisan langit bergabung dalam rombongan untuk turut serta
mengantarkan Bulau Untung Panjang menuju Tahta Ranying Hatalla.
Dengan demikian setiap melewati lapisan langit, jumlah rombongan
menjadi semakin besar karena dari setiap langit yang dilalui, seorang
sangiang akan turut serta. Dengan demikian setelah mencapai langit
keenam, jumlah rombongan sangiang yang dipimpin oleh Rawing Tempun Telon
atau Mantir Mama Luhing Bungai telah bertambah enam orang. Menjelang
pintu ke tujuh, Raja Anging Langit telah menunggu di depan pintu gerbang
langit ke tujuh untuk mengucapkan salam. Bersama Raja Anging Langit,
turut serta Indu Sangumang yang nantinya akan bertugas mengetuk Pintu
Tahta Kerajaan Ranying Hatalla.
Setelah memasuki pintu langit ketujuh, lalu ke Tasik Malambung Bulau,
Tumbang Batang Danum Kamandih Sambang, Gohong Rintuh Kamanjang Lohing
tempat tinggal Tamanang Handut Nyahu dan Kereng Tatambat Kilat Baru
Tumbang Danum Nyarangkukui Nyahu Gohong Nyarabendu Kilat, tempat Raja
Sapaitung Andau. Baru kemudian menuju Bukit Bulau Nalambang Kintan
Tumbang Danum Banyahu.
Setelah itu menuju Bukit Tunjung Nyahu Harende Kereng Sariangkat
Kilat. Disinilah Banama Tingang , kendaraan berbentuk perahu yang mereka
tumpangi berhenti. Hanya tiga dari rombongan Sangiang tersebut yang
melanjutkan perjalanannya menuju Tahta Ranying Hatalla.
Mereka adalah :
1. Mantir Mama Luhing.
2. Raja Tunggal sangumang.
3. Indu Sangumang.
Anggota rombongan lainnya hanya sampai di tempat tersebut dan harus
bersabar menantikan ketiga temannya melanjutkan perjalanan menuju Tahta
Ranying Hatalla. Sambil membawa Bulau Gantung Panjang atau Batun Bulau
Untung yang telah diserahkan oleh para penjaga lapisan langit, ketiganya
menuju ke tempat Raja Sagagaling Langit di Bukit Bagantung Langit,
untuk membersihkan Bulau Batu Untung yang mereka bawa tersebut.
Dari tempat itu mereka pergi lagi menuju Bukit Garinda Hintan tempat
Angui Bungai Tempulengai Tingang, lauk Angin Manjala Buking Tapang untuk
mangarinda Bulau Batu Untung. Setelah itu dengan menumpang Lasang
Nyahu, yaitu sejenis perahu yang melaju cepat, mereka menuju Bukit
Hintan Bagantung Langit tempat kediaman Raja Mintir Langit. Di sana
mereka membuka gedung tujuh tempat Putir Sinta Kameluh( . . . tidak
terbaca, ns).
Lalu Indu Sangumang mengetuk pintu, kemudian masuk dan menghadap
Singgasana Ranying Hatalla. Indu Sangumang memohon berkat bagi Bulau
Batu Untung (. . . tidak terbaca, ns.) setelah berkat diberikan mereka
kembali menuju arah Bukit Tunjung Nyahu, dan di tempat tersebut telah
menunggu 40 Mantir Untung yang langsung meletakkan Bulau Batu Untung
pada kendarah cinta kasih yang tak dapat direnggangkan oleh kekuatan
apapun jua. Dengan demikian proses tugas para Sangiang telah selesai dan
mereka kembali ke dunia dengan melalui tujuh lapisan langit, empat
puluh lapisan embun, langsung menuju rumah di mana upacara sedang
berlangsung.
Setelah menjelaskan segala sesuatunya kepada perantara dalam hal ini
balian, maka para Sangiang pamit untuk kembali ke tempat mereka
masing-masing, namun terlebih dahulu mereka menyantap sesajen yang telah
disediakan khusus bagi mereka pada sebuah kamar.
Untuk pengecekan apakah permohonan tersebut dikabulkan atau ditolak dengan cara sebagai berikut:
Sebelum upacara dimulai, disediakan rotan yang panjangnya tujuh depa
dan beras tujuh sukat. Panjang rotan benar-benar telah diukur oleh
tukang tawur atau balian, panjangnya tujuh depa dengan disaksikan oleh
banyak orang. Begitu pula beras sebanyak tujuh sukat. Setelah upacara
selesai, diadakan pengecekan ulang. Apabila ukuran rotan menjadi lebih
panjang yaitu lebih dari tujuh depa seperti hasil pengukuran semula,
begitu juga jumlah beras lebih dari tujuh sukat, berarti permohonan
mereka diterima dengan baik. Permohonan telah dikabulkan. Akan tetapi
apabila setelah diukur kembali panjang rotan kurang dari tujuh depa,
begitu pula jumlah beras kurang dari tujuh sukat, berarti permohonan
mereka ditolak.
Manawur Tamparan Munduk Balian Hapan Tiwah
(Bahasa Dayak Ngaju)
Bara solak tamparan munduk balian, palus mimbing behaas ietuh :
Ehem behas, harenjet ganan, hai ganan, belum nantuguh labatang entang
bulau, datuh labate habaring jari hampit riwut manyan Raja. Nyimak
saturi malayu, Hapan juyang bangkang halelan tingang, runting tajahan
burung nampasut, kilau nampasut tingang ije kadadang, nampuras tingkah
nampuras bungai ije kapating, malugaku bitim kilau banama nyandang liara
nampilaku balitam, netek ajung hatalumbang jadri hampalua uluh pantai
danum kalunen bara balanai bintan penyang, nampahanjung luwuk kampungan
bunu, bara busi renteng bapampang pulu, ie babalai sansiri koenjat
antang, basali mangkuk sarangiring laut.
Kuntep kamaras, ban penu kaningagang sara dia jaka teburan garing
tabela belum, dia jaka penankekei, bara usuk lisum pananjuri bara wain
tapan, Terai nduan tambekan etuh ijamku enteng nasihku hanyim, nyahungku
indum luang reawei, panati danum kalunen, akan jamban payaruhan tisue
luwuk kampungan bunu, nyahuangku bitim, antang manamuei manajah riak
renteng tingang, raja tabela basandar ranjang.
Nyangkabila balitan kenyui mangaja, mantilung kanaruhan ringgit,
kangatil garantung, Katabelan oleh balai mihing nyapundu runjan anak
Sali nyalung marusuk hintan, nyahuan ie tingang hadurat lunuk, akan
pantai danum kalunen, nyangkabilae tambun nyalentur labehu, akan luwuk
kampungan bunu, ije puna hampang jawah hempeng, palumpang langit busun
kenyui juhai hanyi, panasiran Hawun. Ije mapan batu jadi randung banama
namburak karangan jari talin pambuhui riwut hanya mananteng hanyin,
burung lingu kanyumping linga, ason tandang panangkului enteng uluh lewu
danum jalajan, uluh rindang labehu pali tuntang kare bulau pangajin
sambang batu bangkalan banama. Balu indu iring pinang, uluh lewu danum
jalayan, hayak manenteng hanyin katabelan uluh balai ltuyang katabelan
uluh balai suling bulau, katabelan uluh balai entas,katabelan uluh balai
nyaho, telu puluh ruang tuntang katabelan uluh balai Palangka nambulang
tambun, anak salibayung antang, mahutu Penyang, uras nyahuan usang,
hadurut lunuk hayak mandurut papan talawang mahapan tantang burung
dahiang, malentui gentui daren lintung, hapaharis rayung baya tandak,
lapik banama antng manamuei tapeting ayung, kenyui mangja.
Ie jari bitim behas, jadi barakandung peteh, pantai danum
kalunen, entan bulau, batiang janjin, luwuk kampungan bunu, jadi peteh
manyiret. Kilau lanting darai janji manalan. Mampahulang naharantung
nyalung, te kareh tandakm panjang, halawu bumbung dawen purun, karungutm
ambu harenda pandung, bulau tambun , jadi sukup tuntur, kilau bulan
bele manyinai nenteng sukup palakue tingkah pahawang nangkunyahe tatau.
Kilat baputi dia kanatah hintan, hijir bahenda dia nanggalung bulan,
tawurku belum baun pingan rungan etan bulau bahanjung mangkuk saramurung
laut, bahing jarambang, nipas marung garing gantungan, pusuk rawung
bambau ukei, hayak enum bandadang, te palus manjakah behas tuh auch :
Ije, due, telu, epat, lime, jahawen, uju ije kalabien ketun
sintung uju due kalambungan ketun lambung hanya, te palus manekap
katambung, nampara nampulilang liau.
Toh ie auch :
Liiiiii liala – liaang liau matei randang are mananjung ambun.
Saran kuwu bajumbang nihau nambahui rahu nawan bulan, palus teneng
tendur gandang nyaring menteng randah are babalai bungking lunuk, rintuh
rinau, tuwung siakung tatau, basali tanduh babulung bulau, mikeh are
bunu baletuk ngandang andau panurean dare, talawang, batesei manturana
pakaluyang bulau, are timpung jari tampahar harus laut, unduk ampah
tanjung ambun buang, bulau balemu mantap kasalananggalung petak sintel
manajung halentur liau, mahapan pahulanger bulan, tiling petak jajulana
kahem pahulanger bulan nyaluluk. Te palus teneng gandang tambun jete,
hapamuntung luang kalang labehu handalem rintuh rinau tuwung ihing . . .
Hatalla baparung rangkang huang danum, sama manetep tuwung tambun
rayung tatau, manipas ulek lawin lanting raja. Mangat sama ela balisang
panjang ije gawang tingang rata ela balakas ambu, dinun due kasambutin
antang awang matei hila ngaju, nasat kabangkang nayu-nayu, hasapau dawen
birun bukit, hatingkap pusuk rahing tarung, awang matei junjun helu,
nihau tutuk panambalun tambun, jadi nyahuangku buli batang danum
katimbungan nyahu, gohong santik malelak bulau, tanjung rahu ngalingkang
bulan halaliangku buli sandung garing, kamalesan karatu lumpung
matanandau, bahalap nyapau pisih rarindap langit kamalipir burung piak
liau, hakalusang patung.
Nyamping bulan lembut nyarahan andau pandang, pandang kaninding
saramin sina rarajak saruk suling ringun tingang, kalalambang tambun,
mateiu lunjang lenjut. Kanalantai lamiang kanungket bajihi tambun,
bajihi bulau tarahan tawe-tawe manyamei halampat nyahu nangkuang burung
piak liau hatarusan pantung baya tau mansanam kaban lumpat lawang langit
ie gagahan Telun mama Tambun bunu kandayu lanting jahawen, kanyaki liau
Randin tandang, meto rama batanduk garing, bahalap bajela rohong
bakadandang uru jejerupan perun tambun.
Awang matei ,nambit mambahete halaiyangku buli bukit pasahang
braung, kamalesang kereng rohanjang tulang, buli pampang raung,
kamelasang kereng buli hatelangkup rabia, kanarah hanjaliwan matei
lunjang lenjut, kanahintip talampe, tapalumpang limpet.
Bahalap nyaluang, uei ringka, pakur layang antang, nambaji garing
handue uju hansasulang, kabantikan asai menteng ije tawae, jalan liau
matei nabasan dohong, nakaje andau bunu nalanjat pandange , sama netep
garing kapandukae munduk jiret sihung kabahena, kabahena bajanda, ela
naharantung bahing pantung sambang, ela nyampilek bambi hengan lohing
belum tumbang kapanjungan panjung, haring saluhan antang nahuei, bakulas
aku muta tingang, parakanan renteng bantus manela bungai hajanjala
tundu-tundu balaku badandang lantaran tanjung Ambun, jalangku manjurung
tawur namuei langit balalu batehan laberuh luwuk enon, sandung danun dua
kapamarau langit, tanduhangku mangkat entan bulan mangaja lambang bulau
bara gantung totok timung tandak, liau matei sambile mangantau sambung
santin karunya bapilu nihau ulang bajambilei, hindai aku mungkang
tandakm, tawur ije halawu bumbung daren purun hindai menjung karungut
etan bulau harende pandung, balau tambun –te palus malik tinai tekap
sambang, te toh iye auch :
Manturan behas te iyoh-iyoh bitim tawur ela tarewen matei halawu
bumbung daren purun, ela sabanen ajung hatilalian hariran etan bulan,
harende pandunge balau tambun, basa tawangku panamparan belum, bara
hemben horan.
Patiana pamalempang bara zaman totok panambalon tambun puna bitim
behaas pantis kambang kabanteran bulau balitam etam bulau tahutun lelak
lumpung matanandau, pantis kambang garing manyangen, ie hajamban teras
kayu engang tingang hatatean lohing kayu anduh nyahu ie halalawu bukit
kagantung gandang harenda kereng nunyang, malangka langit. Palus
nangkalume putir Selung Tamanang ewen ndue Raja Nangking langit, mijen
timpung uju hatantilap pahangan hanya hatalamping, ie palus hajanjuri
hanjak, nyahu mangaruntung langit, panatekei humba kilat malambai ambun
kapamalem malentur balitam, totok tambalun tambun hayak enon haganggupa
ie palus kaput biti alem, pain bukit tunjung nyahu lilap, hanggupa tanda
puruk kereng sariangkat kilat halawu. Petak sintel hambalambang tambun,
harenda riang dedet habangkalan garantung. Belum tandah hakaluwah
nyakelang uru jajarupen purun tambun, haring lamabat hambalaun nyampali,
kanarah lintung talawang, ie duam kauju andau, belum nahabulun urung,
naring tingkah singan behau belum runja-runjat ampin bilis manyang
mananjak, pangarawang baun tiwing panjang hari tapu-tapu tingkah
sahempun pasang bara tumbang danum, ie palus mandawen handadue manumbung
dinun hatantelu, palus karimahan soho manggandang bara jalayan bulu,
danum nyamuk pasang bara tumbang danum. Kueh maku leteng kambang nyahun
tarung, puna bitim hai kuasam belum, tampan jata bara huang danum, enon
suka nilap batu kilat tinting balitam datuh jema hamaring, puna selung
Hatalla bara lawang labehu langit, ie umbet kanumpuh bujang, sedang
handiwung kesampelau belum, te palus hatarung pulu ngalingkang pulau,
luntur bahandang batinting lima balas.
Akan batang danum ngabuhi bulau burung tumpah bua nyembang hatuen
burung kajajirak laut, palus mandung bitim marantep kilau hendan bulau,
nangkuyang bilatamu nahajib tingkah lanting rabia, te bukum jadi
handiwung pakandung pusue, sawang bapangku anak, pandung malelak bulau,
ie umbet bula katugalam belum sadang bintang patendum hamaring.
Ie rawei banama baongkar puat, ajung jawu dagange handiwung
banbaukei pusu pundung malelak bulau, bauhat rentai nyangkabilan bawak
nambuku tisim, galigir bintang, nambatang suling, ringun tingang,
mandawen simbel bulau bakatantan jari bulau jandau. Ie mangambang bulau,
taparuyang rayuh, malelak hintan tapang rundang rundai babehat babatu
pating, bateras nyalung Kaharingan belum. Baluhing gohong, paninting
aseng, ie rawei awang hatue kamampan bunu nantaulah anju tanjuren teken.
Hababiyan karayan tantanjuk rangkan , bapa manambang bitim kilau
manambang banana manungkah laut, manangkep balitam, ruwan manangkep
ajung hatatean hareran.
Ie palus rawei masak manalajan pating ripu mangantien tundu palus
nangkung nangkuluk gentu nanpung penyang. Nundun balitam tingkah nundum
paturung, ie lentu-lentu oleh tingang tempun hemben horan naji-najing
antang sangiang totok tambalun tambun palus nagaggre gangguranan arae,
nasuwa sebutan bitim, ie parei, tangkenya mampan baun tiowong panjang
parei karumis mampan jalan, parei tanjujik helang uhat