Tiba-tiba saja hari ini aku
terkenang ketenangan sebuah budaya dan kampung halamanku. Ingatan ini
makin menjadi saat mendengar pidato Barrack Obama “Pulang Kampung nih”,
saat berkunjung ke Indonesia tahun 2010 yang lalu. Aku jadi berkeinginan
untuk mudik ke kampung halaman. Padahal sekitar bulan Juli 2010
kemarin, aku juga mudik. Bisa-bisa kering nih dompet apabila aku sering-sering mudik.
Nama kampung yang kumaksud adalah Sei
Utik atau Sungai Utik, tepatnya terletak di Kecamatan Embaloh Hulu,
Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Sebenarnya, ini
kampung ibuku; aku sering diajak ke sana kalau libur sekolah semasa
kecil. Sungai Utik, secara harfiah berarti sungai putih. Sungai yang
ditutupi dengan pasir putih bersih. Airnya jernih kecuali saat hujan
deras pada petang hari yang akan membawa lumpur dari tempat yang lebih
tinggi.
Sungai ini adalah urat nadi kehidupan
masyarakat sekitarnya, tempat dimana warga mandi dan mencuci. Desa Sei
Utik mayoritas penduduknya ialah Suku Dayak Iban. Mereka akan menyambut
Anda dengan senyuman yang hangat, ramah dan santun. Jika mereka pikir
Anda bersikap baik, para wanita tua kemungkinan akan memberi Anda
pelukan erat dengan tawa menderu. Sewaktu kecil saya sering terharu oleh
sikap mereka itu. Saya begitu bahagia melihat keceriaan dan rasa
kekeluargan mereka.
Apabila suatu saat Anda berkunjung kesana, akan tampak di gerbang selamat datang sebait kalimat bertuliskan gaga temuai datai, yaitu berarti “senang tamu datang”. Saat Anda meninggalkan Desa Sei Utik, akan terbaca sebaris tulisan di gerbangnya gerai temuai pulai, yang berarti “sehat tamu pulang”. Tak jauh dari gerbang tersebut, akan tampak rumah betang (long house), rumah tradisional Kalimantan yang ditempati oleh (biasanya) sekira 40 keluarga Dayak Iban.
Rumah panjang yang terbuat dari kayu
terbaik di Kalimantan itu (kayu ulin) memiliki banyak pintu dan disangga
oleh tiang-tiang yang besar. Mereka mendapatkan kayu dari hutan
cadangan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Keluarga-keluarga
itu berbagi beranda, ruang depan dan ruang tamu yang merupakan ruang
besar berukuran 100×5 meter.
Dari kehidupan masyarakat Dayak Iban di
kampung Sei Utik ini terlihat bahwa budaya dan kearifan lokal masih
melekat dengan kehidupan masyarakatnya. Walaupun kehidupan dari luar
(kota) sedikit mempengaruhi kehidupan di daerah (kampung) itu, tapi
kearifan lokal tetap dipertahankan. Kearifan lokal juga tercermin dari
upaya pelestarian hutan dan isinya dengan berpegangan pada perangkat
hukum adat yang mereka percaya. Selain itu, terdapat pula beberapa LSM
(Lembaga Sosial Masyarakat) baik dari dalam maupun luar negeri yang
membantu, melatih dan mensosialisasikan banyak hal yang bermanfaat
tentang pelestarian hutan agar hutan tetap terjaga dan terlindungi.
Kampung yang kucintai ini berada di
kawasan yang elok, sederhana dan masih hijau. Berada tak jauh dari
Putussibau (Kapuas Hulu), perjalanan menuju kampungku sekira 1-2 jam
dengan mengendarai bus atau motor. Jelajahi saja sungainya dari hulu ke
hilir atau sebaliknya dan dapatkan pengalaman pertualangan yg ekstrim.
Atau berkeliling kampung dan berinteraksilah dengan masyarakat Dayak
Iban untuk mendapatkan pengalaman yang lain lagi.
0 komentar:
Posting Komentar